ﺒﺴﻢﺍﷲﺍﻠﺮﺤﻤﻦﺍﻠﺮﺤﻴﻢ

Dengan Nama Alloh Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang

Selasa, 19 Januari 2010

Belahan Jiwa (Buat yang Sudah Menikah, Sedang Mempersiapkan Pernikahan, ser

Hadist Rasululloh SAW, menyatakan : “Manusia itu seperti unta. Di antara 100 ekor unta, sangat sulit kamu menemukan seekor yang sangat baik tunggangannya.” (HR Bukhari Muslim).

Bagi seorang istri hampir tidak mungkin mendapatkan suami yang gagah perkasa, mulia, dermawan, berilmu luas, banyak sedekah, pandai mengendalikan amarah, mudah memaafkan orang lain, dan romantis. Begitu juga bagi seorang suami hampir tidak mungkin memiliki seorang istri yang cantik, pandai menyenangkan suami, cekatan, pintar mengelola keuangan, rajin beribadah, serta sejuta sifat baik lainnya.

Saat sebelum menikah, terus terang saya berangan-angan memperoleh pasangan hidup yang sangat sempurna. Saya berharap memiliki suami yang gagah, pintar, kaya dan tentunya shaleh. Saya berharap suami saya adalah laki-laki dengan segala kesempurnaannya.

Tapi semakin saya coba selami dan pahami, rasanya terlalu berlebihan berangan-angan seperti itu. Saya mencoba menyadari seperti apa diri ini.
Saya menyadari bahwa suami saya bukanlah laki-laki terbaik di dunia ini. Begitu juga saya, bukanlah perempuan terbaik di dunia ini. Kami amat jauh untuk dikatakan sempurna. Saya hanya berharap semoga suami saya adalah yang terbaik bagi diri saya dengan segala kelebihannya. Saya juga berharap suami saya berpikir hal yang sama, bahwa saya adalah yang terbaik bagi dirinya, terlepas dari segala kekurangan yang saya miliki.

Memasuki kehidupan rumah tangga, bukanlah hal yang mudah bagi saya untuk menyelaraskan kehidupan dengan segala perbedaan yang ada di antara saya dan suami saya. Namun dengan bekal keyakinan dan pemahaman yang sama tentang pasangan, maka kami mencoba untuk mencari benang merah kesamaan di antara perbedaan kami. Saya berusaha untuk memahami segala kekurangan suami, begitu juga dia. Saya berusaha untuk selalu mengingat segala kebaikan dan kelebihan suami dan berusaha melupakan kesalahan-kesalahan kecil yang dia lakukan. Begitu pula yang dilakukan suami saya.

Kami hanya berusaha. Kami hanya berupaya. Semoga saja langkah kecil kami bisa menjadi awal yang baik untuk terciptanya keluarga sakinah, mawaddah warahmah.

Ambu kaka @ kompasiana.com
# Makhluk perasa namun memiliki Rasionalitas tinggi #

Bebannya Seorang Ayah

Subuh tadi saya melewati sebuah rumah, 50 meter dari rumah saya dan melihat seorang isteri mengantar suaminya sampai pagar depanrumah. "Yah, beras sudah habis loh..." ujar isterinya. Suaminya hanya tersenyum dan bersiap melangkah, namun langkahnya terhenti oleh panggilan anaknya dari dalam rumah, "Ayah..., besok Agus harus bayar uang praktek"."Iya..." jawab sang Ayah. Getir terdengar di telinga saya, apalah lagi bagi lelaki itu, saya bisa menduga langkahnya semakin berat.Ngomong-ngomong, saya jadi ingat pesan anak saya semalam, "besokbeliin lengkeng ya" dan saya hanya menjawabnya dengan "Insya Allah" sambil berharap anak saya tak kecewa jika malam nanti tangan ini tak berjinjing buah kesukaannya itu.Di kantor, seorang teman menerima SMS nyasar, "jangan lupa, pulang beliin susu Nadia ya". Kontan saja SMS itu membuat teman saya bingung dan sedikit berkelakar, "ini, anak siapa minta susunya ke siapa". Saya pun sempat berpikir, mungkin jika SMS itu benar-benar sampai ke nomor sang Ayah, tambah satu gundah lagi yang bersemayam. Kalau tersedia cukup uang di kantong, tidaklah masalah. Bagaimana jika sebaliknya?

Banyak para Ayah setiap pagi membawa serta gundah mereka, mengiringi setiap langkah hingga ke kantor. Keluhan isteri semalam tentang uang belanja yang sudah habis, bayaran sekolah anak yang tertunggak sejak bulan lalu, susu si kecil yang tersisa di sendok terakhir, bayar tagihan listrik, hutang di warung tetangga yang mulai sering mengganggu tidur, dan segunung gundah lain yang kerap membuatnya terlamun.Tidak sedikit Ayah yang tangguh yang ingin membuat isterinyatersenyum, meyakinkan anak-anaknya tenang dengan satu kalimat, "Iya, nanti semua Ayah bereskan" meski dadanya bergemuruh kencang dan otaknya berputar mencari jalan untuk janjinya membereskan semua gundah yang ia genggam.Maka sejarah pun berlangsung, banyak para Ayah yang berakhir di tali gantungan tak kuat menahan beban ekonomi yang semakin menjerat cekat lehernya. Baginya, tali gantungan tak bedanya dengan jeratan hutang dan rengekan keluarga yang tak pernah bisa ia sanggupi. Sama-sama menjerat, bedanya, tali gantungan menjerat lebih cepat dan tidak perlahan-lahan.
Tidak sedikit para Ayah yang membiarkan tangannya berlumuran darah sambil menggenggam sebilah pisau mengorbankan hak orang lain demi menuntaskan gundahnya. Walau akhirnya ia pun harus berakhir di dalam penjara. Yang pasti, tak henti tangis bayi di rumahnya, karena susu yang dijanjikan sang Ayah tak pernah terbeli.Tak jarang para Ayah yang terpaksa menggadaikan keimanannya, menipu rekan sekantor, mendustai atasan dengan memanipulasi angka-angka, atau berbuat curang di balik meja teman sekerja. Isteri dan anak- anaknya tak pernah tahu dan tak pernah bertanya dari mana uang yang didapat sang Ayah. Halalkah? Karena yang penting teredam sudah gundah hari itu.
Teramat banyak para isteri dan anak-anak yang setia menunggu kepulangan Ayahnya, hingga larut yang ditunggu tak juga kembali.Sementara jauh disana, lelaki yang isteri dan anak-anaknya setiamenunggu itu telah babak belur tak berkutik, hancur meregang nyawa, menahan sisa-sisa nafas terakhir setelah dihajar massa yang geram oleh aksi pencopetan yang dilakukannya. Sekali lagi, ada yang rela menanggung resiko ini demi segenggam gundah yang mesti ia tuntaskan.

Sungguh, diantara sekian banyak Ayah itu, saya teramat salut dengan sebagian Ayah lain yang tetap sabar menggenggam gundahnya, membawanya kembali ke rumah, menyertakannya dalam mimpi, mengadukannya dalam setiap sujud panjangnya di pertengahan malam, hingga membawanya kembali bersama pagi. Berharap ada rezeki yang Allah berikan hari itu, agar tuntas satu persatu gundah yang masih ia genggam. Ayah yangini, masih percaya bahwa Allah takkan membiarkan hamba-Nya berada dalam kekufuran akibat gundah-gundah yang tak pernah usai.
Para Ayah ini, yang akan menyelesaikan semua gundahnya tanpa harus menciptakan gundah baru bagi keluarganya. Karena ia takkanmenuntaskan gundahnya dengan tali gantungan, atau dengan tangan berlumur darah, atau berakhir di balik jeruji pengap, atau bahkan membiarkan seseorang tak dikenal membawa kabar buruk tentang dirinya yang hangus dibakar massa setelah tertangkap basah mencopet.Dan saya, sebagai Ayah, akan tetap menggenggam gundah saya dengan senyum. Saya yakin, Allah suka terhadap orang-orang yang tersenyum dan ringan melangkah di balik semua keluh dan gundahnya. Semoga.

gantreng@kapanlagi.com